NASIB SOWANG DI PEGUNUNGAN CYCLOOP

Sri Wilujeng
Masalah lingkungan hingga saat ini selalu aktual untuk dibahas, terutama masalah-masalah lingkungan yang berdampak langsung terhadap kehidupan manusia. Global warming, polusi, lubang ozon dan hujan asam menjadi perhatian utama, sementara kepunahan spesies nyaris luput dari perhatian. Kepunahan suatu spesies tidak berdampak langsung terhadap kehidupan manusia secara umum. Bagi masyarakat pada lingkup yang lebih kecil seperti suku tertentu, suatu spesies dapat memiliki arti yang penting secara sosial budaya. Kepunahan spesies penting tidak saja mengganggu keseimbangan sosial budaya, terutama bila spesies tersebut juga memiliki nilai ekonomis. Secara ekologis, kepunahan spesies pada suatu ekosistem berdampak mengganggu keseimbangan ekosistem yang bersangkutan. Spesies merupakan komponen penting dalam ekosistem.
Data Conservation International menunjukkan bahwa Papua merupakan salah satu daerah di Indonesia dengan keanekaragaman spesies dan endemisitas yang tinggi, namun belum semua spesies-spesies tersebut teridentifikasi. Spesies-spesies endemik adalah spesies yang penyebarannya terbatas, hanya ditemukan pada daerah tertentu. Diperkirakan Papua memiliki sekitar 25.000 spesies tumbuhan berkayu, 164 spesies mamalia, 329 spesies amfibia dan reptilia, 650 spesies burung serta 1.200 spesies ikan laut. Persentase endemisitas spesies di Papua adalah 55 % (13.750 spesies) tumbuhan berkayu, 58 % (95 spesies) mamalia, 35 % (78 spesies) reptilia, 52 % (338 spesies) burung, kurang lebih 150.000 spesies serangga serta ratusan spesies hewan avertebrata air tawar dan laut. Patut disayangkan, sementara identifikasi spesies-spesies endemik belum maksimal dilakukan, gangguan terhadap ekosistem, termasuk didalamnya adalah gangguan-gangguan yang memberi peluang terhadap kepunahan spesies terus berlangsung. Ironis, bila kepunahan terjadi terutama pada spesies-spesies yang belum teridentifikasi.
Spesies endemik Papua yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat setempat adalah spesies-spesies tumbuhan berkayu diantaranya adalah tumbuhan Sowang (Xanthosthemon novaguineense Valet.), tumbuhan yang termasuk dalam family Myrtaceae (jambu-jambuan). Bahkan peneliti dari kebun raya New South Wales menginformasikan bahwa Sowang merupakan tumbuhan endemik pulau Papua New Guinea bagian barat dengan data ilmiah yang sangat terbatas.
Sowang oleh suku-suku setempat disebut dengan berbagai nama yakni Howang malew, Howang hele dan Sonariku. Kayu Sowang dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat dalam kegiatan ritual, pembuatan senjata tradisional, perkakas rumah, tiang pagar, tiang rumah, sebagai kayu bakar dan bahan baku pembuatan arang. Bagi nelayan yang bertempat tinggal di tepi pantai, kayu Sowang digunakan sebagai tiang-tiang penyangga rumah karena kualitas kayunya termasuk dalam kategori kayu yang tahan terhadap penggerek kayu di laut. Secara komersial, kayu Sowang diperjualbelikan dalam bentuk kayu teras serta dalam bentuk arang.
Daerah habitat tumbuhan Sowang di Jayapura adalah pegunungan Cycloop, tetapi Sowang tumbuh tidak merata di pegunungan Cycloop. Sowang hanya tumbuh di sisi barat, selatan sampai timur pegunungan Cycloop. Pegunungan Cycloop merupakan pegunungan yang membujur di sebelah utara Jayapura. Sejak tahun 1987 kawasan pegunungan Cycloop ditetapkan sebagai cagar alam seluas 22.500 ha. Sisi selatan hingga timur cagar alam pegunungan Cycloop yang menghadap ke kawasan Jayapura ditetapkan pada ketinggian mulai 400 m dpl. Sementara habitat tumbuhan Sowang adalah dataran rendah pada ketinggian 15 – 450 m dpl, oleh karena itu tumbuhan Sowang banyak dijumpai pada kaki pegunungan Cycloop, atau daerah yang tidak termasuk wilayah cagar alam. Habitat Sowang ini kemudian menyusut luasannya karena konversi lahan dan eksploitasi hasil hutan, selebihnya masih dalam bentuk hutan adat yang dikuasai oleh masyarakat suku setempat.
Sowang adalah tumbuhan yang memiliki daya bertahan hidup yang unik. Sowang mampu bertunas setelah bagian batang di atas tanahnya ditebang atau dibakar. Dari satu batang yang ditebang atau dibakar akan tumbuh lebih dari satu tunas atau cabang. Cara percabangan ini tidak lagi monopodial seperti pada individu Sowang yang berasal dari biji, karena batang pokok menghentikan pertumbuhannya. Pada individu Sowang yang berasal dari tunas batang, walaupun masih berukuran anakan tetapi sudah mampu berbunga. Bunga yang dihasilkan merupakan bunga yang mampu menghasilkan biji yang fertil, artinya setiap biji memiliki kemampuan untuk berkecambah dan menjadi individu baru. Fase berbunga ini berlangsung sepanjang tahun. Biji Sowang berbentuk bulat pipih berdiameter 1.5 – 2 mm, ringan, tidak berbulu dan tidak bersayap. Biji kecil dan ringan keluar dari buah pecah di pohon sehingga penyebaran biji dilakukan oleh angin. Perkecambahan biji dan pembungaan pada individu dari tunas sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari. Perkecambahan dan pembungaan membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi, oleh karena itu individu-individu tersebut lebih banyak terdapat pada daerah-daerah terbuka di hutan-hutan sekunder.
Pada hutan primer, jumlah individu Sowang sangat kecil, pada umumnya berukuran pohon yang berasal dari biji, tidak ada individu yang berasal dari tunas batang, karena tidak ada penebangan atau pembakaran. Frekuensi pembungaan terjadi sekali setahun pada bulan September – Oktober.
Cara percabangan individu Sowang dari tunas batang yang melebar ke samping pada ketinggian yang rendah menempatkan biji-biji Sowang pada media tumbuh (tanah) yang sesuai dengan persyaratan perkecambahan biji Sowang. Pada kondisi demikian, ditambah dengan perbedaan frekuensi berbunga maka individu Sowang dari tunas batang lebih banyak menghasilkan anakan dibandingkan dengan individu Sowang dari biji. Biji pohon Sowang yang berasal dari biji memiliki peluang yang kecil untuk mencapai media tumbuh (tanah) yang sesuai karena jauh dari tanah (ketinggian pohon), selain itu biji ringan sehingga letak jatuh bergantung pada arah angin.
Masyarakat suku Papua umumnya memiliki indigenous knowledge terhadap lingkungannya, demikian pula halnya dengan suku-suku yang berdiam di kaki pegunungan Cycloop terhadap hutan adatnya. Menurut mereka bumi adalah ibu yang harus dihormati sehingga pantang untuk ditambang tanpa kendali. Tanah merupakan identitas dan sumber kehidupan, oleh karena itu dalam mendayagunakan ruang untuk untuk berbagai keperluan diberlakukan sistem zona. Mengutip thesis Yepasedanya (2004) dikemukakan bahwa, masyarakat adat membagi kawasan Cycloop menjadi zona tempat tinggal, zona berkebun, zona pengambilan kayu (termasuk pengambilan hasil hutan lainnya) dan zona terlarang bagi adat (hutan primer), karena menganggap bahwa kawasan Cycloop merupakan warisan nenek moyang yang harus dilindungi.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, individu Sowang lebih banyak terdapat pada zona berkebun dan zona pengambilan kayu. Zona-zona ini menjadi daerah yang lebih terbuka sehingga permukaan tanah menjadi lebih mudah ditembus oleh cahaya matahari. Zona berkebun merupakan daerah yang mengalami pembakaran berulang, sementara pengambilan kayu Sowang di zona pengambilan kayu dilakukan dengan membakar akarnya. Yang mengkhawatirkan, hal-hal di atas menyebabkan individu Sowang tidak pernah menjadi dewasa di zona berkebun dan individu Sowang tidak pernah bertunas di zona pengambilan kayu. Sementara di hutan primer, selain jumlah individu yang kecil, peluang regenerasi juga sangat kecil. Jika demikian, pertanyaan yang timbul adalah bisakah Sowang bertahan di pegunungan Cycloop ?
Jawabannya tentu saja bisa, bila kita kaum pencinta lingkungan mau bergandengan tangan dan bahu membahu menyelamatkan Sowang. Usaha pemerintah daerah dengan memproteksi kawasan menjadi kawasan dilindungi serta sistem zona masyarakat adat ternyata belum cukup melindungi keberadaan populasi Sowang. Perlindungan seharusnya difokuskan pada spesies yang bersangkutan, hal ini hanya bisa dilakukan oleh kaum pencinta lingkungan. Dimulai dari Sowang, kita bisa bergerak pada spesies-spesies endemik dan unik lain karena Sowang hanya merupakan satu dari ribuan spesies endemik dan unik Papua.
Artikel ini pernah dimuat dalam harian Cenderawasih Pos, Edisi 5 Juni 2009
Penulis adalah Staf Pengajar Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Univ. Cenderawasih, Jayapura - Papua